Jumat, 21 Agustus 2020

Valorant


Riot Games adalah sebuah contoh kasus yang cukup unik di industri game. Ketika sebagian besar developer membangun popularitas dan nama lewat kualitas beragam produk yang mereka racik dalam kurun tahunan, Riot Games tumbuh menjadi raksasa karena kes

uksesan hanya satu nama saja – League of Legends. Game MOBA yang sudah hidup dan bertahan selama bertahun-tahun ini menjadi pondasi penyokong Riot Games dan menjadi nama yang terikat dengannya. Riot Games hidup untuk League of Legends dan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak gamer yang penasaran ketika lewat produk terbaru mereka, Riot Games hendak keluar dari “semesta” yang membesarkan namanya tersebut.

Bermula sebagai game yang dinamai “Project A” dan kemudian tumbuh menjadi game VALORANT yang baru saja tersedia di pasaran sebagai game free to play ini, Riot Games hendak menjajal kemampuan mereka untuk meracik game kompetitif lain selain League of Legends. Kita bertemu dengan genre baru, pasar gamer yang baru, tantangan baru, dan tentu saja, ambisi yang baru.

Apalagi, VALORANT juga terasa berusaha melebur elemen-elemen terbaik dari dua tren game FPS kompetitif – mereka yang hadir dalam konsep hero shooter ala Overwatch dan yang lebih mengutamakan mekanik seperti Counter-Strike: Global Offensive. Kesemuanya dilebur dalam kualitas visualisasi sederhana dan spesifikasi PC tak terlalu berat yang membuat PC tua sekalipun, tidak sulit untuk menanganinya.

Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh VALORANT? Mengapa kami menyebutnya sebagai game yang mengusung sistem kolaborasi konsep yang matang? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.

Apa itu VALORANT?

Valorant adalah game kompetitif 5vs5.

Anda yang seringkali menikmati game-game shooter kompetitif sepertinya tidak akan lagi asing dengan konsep yang ditawarkan oleh VALORANT. Dunianya dibangun dari sebuah kisah eksistensi manusia-manusia bumi istimewa yang tiba-tiba mendapatkan kekuatan khusus setelah sebuah event misterius bernama “First Light” mengemuka. Tidak ada yang tahu apa sebenarnya “First Light” ini, namun tidak sekedar memberikan kekuatan pada beberapa manusia, ia juga mendorong transformasi drastis pada kehidupan, teknologi, dan cara pemerintahan bekerja. Para manusia istimewa yang disebut sebagai “Radiants” ini dan mereka yang sekadar dipersenjatai dengan teknologi Radiant pun dikumpulkan oleh satu organisasi misterius bernama Valorant Protocol.

Sisanya? Seperti game yang difokuskan pada pengalaman multiplayer pada umumnya, kisah yang diusung VALORANT akan tumbuh dan berkembang seiring dengan lebih banyak event dan karakter yang diperkenalkan di masa depan. Satu yang pasti, kisah ini kemudian ditranslasikan dalam sebuah game multiplayer kompetitif yang memuat dua tim yang saling bertarung satu sama lain, dalam format 5 VS 5. Pada saat review ini ditulis, pertarungan terjadi di beragam belahan dunia dengan lokasi menawan dengan misi yang sama – dimana satu pihak berusaha memicu sebuah alat peledak masif bernama Spike, sementara tim yang lain berusaha untuk mencegahnya. Inilah konsep utama Valorant.

Bomb Defuse, atau yang di game ini disebut Spike, adalah satu-satunya mode yang tersedia di rilis awal Valorant.
Secara sederhana, Valorant bisa disebut sebagai perpaduan antara CS: GO dan Overwatch.

Sementara dari sisi mekanik gameplay, menyederhanakannya sebagai sebuah game shooter yang melebur konsep Overwatch dan Counter Strike: Global Offensive di dalam satu ruang yang sama, sepertinya adalah kalimat penjelasan yang terbaik. Di antara kedua game ini, konsep permainan CS: GO memang terasa lebih dominan dibandingkan Overwatch yang hanya bergerak di konsep hero dan skill. Ini berarti, pengalaman bermain yang ia tawarkan lebih mendekati sebuah shooter taktikal dengan mekanik yang menonjol alih-alih sebuah game shooter hero yang biasanya terbagi ke dalam beragam kelas untuk saling menunjang satu sama lain dengan gameplay shooter arcade yang kental. Di VALORANT, kebutuhan untuk mengatur spray tembakan, mengejar headshot sebaik yang Anda bisa, mengatur suara derap kaki untuk menihilkan informasi lokasi ke musuh, hingga berstrategi menjadi sesuatu yang esensial. Ia adalah CS: GO, namun dengan sistem hero dan bukan sebaliknya.

VALORANT juga didistribusikan secara cuma-cuma dalam format free to play, dimana Anda akan bisa mengakses semua konten gameplay yang seharusnya ada. Monetisasi dilakukan dengan bijak, dengan melalui opsi belanja item-item kosmetik yang sejauh ini berkutat pada skin senjata, charm, spray, hingga kartu nama yang bisa Anda pamerkan. Sistem buka karakter ekstra juga bisa dilakukan dengan memainkan game dan mencapai level user tertentu dan sejauh ini, tidak menuntut Anda untuk mengeluarkan uang sama sekali di dunia nyata.

Kolaborasi Konsep Matang

Walapun di atas kertas terdengar mustahil, namun VALORANT berhasil memadupadankan dua konsep sangat berbeda ini dengan matang.

Terlepas dari fakta bahwa keduanya merupakan game FPS, menggabungkan konsep yang ditawarkan oleh Overwatch dan Counter Strike: Global Offensive di dalam satu ruang yang sama adalah sesuatu yang terhitung gila. Mengapa? Karena game shooter seperti Overwatch menawarkan cita rasa arcade yang lebih kental, dimana kita bertemu dengan karakter seperti Junkrat misalnya, yang bahkan bisa berkontribusi dalam pertempuran tanpa harus membidik sekalipun ataupun Reinhardt yang datang sebagai tanker dengan role dan fungsi yang jelas di dalam tim. Konsep seperti ini kemudian hendak dipadupadankan dengan sebuah game shooter taktis dimana gamer butuh untuk mengetahui, memahami, dan mengerti cara kerja setiap senjata yang ada di luar kebutuhan untuk berstrategi. Berita baiknya? VALORANT sukses mengeksekusi perpaduan keduanya dengan matang.

Hadir dengan karakter-karakter hero yang masing-masing memiliki skill yang berbeda-beda, cita rasa shooter hero yang diusung VALORANT memang tidak menonjol. Ini berarti, Anda selalu punya kesempatan untuk merenggut kemenangan tanpa menggunakan skill Anda sama sekali. Terlepas dari fakta bahwa setiap hero (yang disebut sebagai Agen di game ini) punya setidaknya 4 skill berbeda dengan salah satunya berfungsi sebagai serangan Ultimate dengan sifat yang lebih destruktif, Anda selalu bisa menang dengan hanya mengandalkan senjata di tangan. Skill yang diusung karakter-karakter ini memang lebih dominan dikuasai oleh “utility” skill, antara memblokir pandangan musuh, membuat mereka buta, berperan tak ubahnya flamethrower atau sebuah granat biasa, atau sekadar mengetahui dan melacak posisi musuh.

Walaupun skill unik dimiliki setiap hero, Anda tetap bisa memenangkan pertempuran tanpa menggunakannya sama sekali.
2 dari 3 skill dasar berfungsi bak equipment, dimana Anda harus membelinya dengan uang dan harus diisi ulang jika habis.

Kesan itu menguat karena VALORANT juga memosisikan mereka sebagai bagian dari strategi belanja Anda di awal ronde. Tidak seperti Overwatch dimana skill selalu berbasis waktu cooldown, setidaknya 2 dari 3 skill setiap Agen di VALORANT hadir tak ubahnya equipment yang harus Anda beli dan isi ulang ketika habis. Hanya 1 dari 3 skill masing-masing karakter yang biasanya menggunakan sistem cooldown. Sistem ini menghasilkan dinamika unik dimana gamer kini punya pilihan untuk menentukan apakah uang yang mereka kumpulkan tiap ronde harus didistribusikan untuk senjata yang lebih kuat atau mengisi skill mereka untuk meraih keuntungan tersendiri dalam pertempuran. Sementara untuk serangan Ultimate, ia tidak bisa dibeli dengan uang. Ultimate akan terisi seiring dengan lebih banyak musuh yang Anda bunuh atau dengan mengumpulkan bola energi yang tersebar di arena pertempuran.

Konsep shooter hero ini semakin terdesak ke belakang layar ketika Anda mulai memahami bahwa terlepas dari keunikan setiap skill yang ia usung, tidak ada karakter yang benar-benar punya satu peran spesifik yang jelas – seperti Mercy atau Reinhardt di Overwatch. Anda memang akan bertemu  dengan Agen yang bisa memulihkan diri dengan memakan jiwa musuh yang ia bunuh seperti Reyna misalnya, atau karakter yang punya sisi ultimate yang bisa membuatnya membangkitkan karakter yang sudah tewas seperti Sage, namun Anda tidak akan bertemu dengan strategi permainan yang berpusat pada mereka. Karenanya, ia membuat komposisi tim di dalam VALORANT berujung tidak seberapa penting. Apapun komposisi tim yang diracik, bahkan ketika musuh melakukan last pick sekalipun, kemenangan tetap bergantung pada seberapa lihai mereka membidik dan menembak setiap musuh yang ada. Semua ekstra skill yang bisa diakses pada Agen tidak ubahnya “bonus” untuk membuat arena dan sensasi pertempuran terasa sedikit berbeda dengan strategi spesifik yang bisa ditempuh. Namun sekali lagi, perencanaan pertempuran Anda tidak akan bergantung pada komposisi Agen dalam tim.

Sistem hero VALORANT juga tidak berpengaruh banyak pada komposisi tim dan peran.
Spray-control yang ia usung tidak segila CS: GO, membuatnya terasa lebih casual.

Menariknya lagi, VALORANT juga tidak bisa dibilang “se-hardcore” Counter Strike: Global Offensive itu sendiri. Ada usaha untuk mempertahankan sensasi yang serupa, namun dengan kompleksitas yang diturunkan atas nama untuk merekrut pasar lebih luas. Ada banyak indikasi yang bisa kita temukan. Sebagai contoh? Pengelompokan dan varian senjata yang lebih sedikit sehingga Anda tidak perlu dipusingkan dengan upaya berpikir keras hendak mengarah kemana uang yang Anda kumpulkan di setiap ronde. Sebagian besar senjata ini juga mendukung sistem aim sehingga Anda selalu bisa membunuh musuh di jarak yang jauh. Alasan lain juga muncul dari sistem spray yang ia usung. Walaupun Anda harus menjaga dan mengatur tembakan Anda di VALORANT, ia tidak berujung se-ekstrim yang dilakukan CS:GO. Anda masih bisa memuntahkan peluru cukup banyak dengan senjata apapun di beberapa detik awal tembakan sebelum recoil mengambil alih.

Maka pengalaman Anda bermain VALORANT memang akan lebih mirip dengan pengalaman Anda bermain Counter-Strike. Di awal, terlepas apakah Anda tim penyerang atau bertahan, Anda akan menemukan tim yang biasanya terpecah untuk bergerak ke beberapa lokasi pem-bom-an yang juga dibagi ke dalam beragam huruf berbeda. Desain peta VALORANT memang harus diakui lebih lugas, dimana ia menawarkan lebih banyak jalan alternatif ke lokasi tertentu. Di awal pertempuran, Anda akan menemukan banyak lemparan skill di sana-sini yang sebagian besar didesain untuk mendeteksi kehadiran musuh atau membatasi sudut pandang dan pergerakan mereka. Hanya dalam 30 detik pertama, Anda biasanya sudah memiliki gambaran kira-kira dimana area “panas” akan terjadi dan petempuran akan berjalan cepat. Tim yang pertama kali menyentuh angka 13 kemenangan akan dihitung sebagai jawara.

Sayangnya, terlepas dari sensasi pertempuran yang selalu intens dan cepat, VALORANT sendiri tidak bisa dibilang sempurna sebagai sebuah game kompetitif. Walaupun kemungkinan besar hukuman lebih brutal akan muncul ketika mode Ranked diperkenalkan, untuk saat ini, tidak ada konsekuensi atau alternatif solusi untuk gamer-gamer yang AFK. Jika ini terjadi di awal, maka ini berarti Anda harus bertarung timpang karena jumlah anggota tim yang lebih sedikit. Ada usaha untuk membuatnya lebih seimbang memang dengan ekstra uang yang akan ditambahkan untuk Anda setiap ronde dimulai, yang besarnya bergantung pada jumlah pemain yang AFK. Namun pada akhirnya, ia tidak akan banyak berkontribusi jika skill Anda di awal, memang sudah tidak sebanding. Riot perlu memikirkan hal ini sebelum kasus AFK seperti ini membludak dan menghancurkan pengalaman bermain VALORANT.

Game ini butuh solusi lebih konkrit untuk kasus AFK yang sempat terjadi di beberapa permainan kami.
Sistem anti-cheatnya, Vanguard, memperlihatkan sifat yang menyeramkan.

Masalah lain yang pantas untuk dibicarakan juga datang dari sistem anti-cheat mereka yang disebut sebagai Vanguard, yang akan langsung aktif begitu PC Anda dinyalakan. Semakin Anda memikirkannya, sistem anti-cheat yang satu ini menyeramkan, terlepas dari fakta bahwa Riot sempat mengklaim bahwa Vanguard tidak akan membaca perilaku dan mencatat apapun yang Anda lakukan dengan PC Anda. Mengapa menyeramkan? Karena ini satu-satunya sistem anti-cheat yang pernah kami temui dimana jika Anda menghentikan proses-nya secara manual, ia akan menuntut Anda untuk melakukan restart computer untuk mengaktifkannya kembali demi memainkan VALORANT. Benar sekali, Anda tidak bisa mencarinya di programs dan menyalakannya kembali begitu saja. Anda harus mematikan dan menghidupkan kembali keseluruhan sistem Anda. What the…

Maka terlepas dari konsep yang di awal terdengar sulit untuk bisa melebur dengan manis, VALORANT berhasil mencapai sesuatu yang mustahil dan karenanya melahirkan sebuah game shooter kompetitif yang intens dan menarik di saat yang sama. Keputusan untuk mendasari gameplay lebih ke arah CS: GO dan menjadikan konsep hero ala Overwatch di “belakang layar” adalah salah satu keputusan terbaik yang bisa mereka ambil. Pujian ekstra juga pantas diarahkan pada kesiapan server (setidaknya dari pertandingan yang kami jajal) berfungsi dengan nyaris sempurna. Tidak ada masalah klasik seperti rubberbanding atau ping tinggi sejauh ini, yang membuatnya nyaman sebagai sebuah game kompetitif.

Presentasi Menarik namun Tak Memesona

Sisi presentasi Valorant memang masih menarik, namun tidak bisa dibilang istimewa.

Dengan membaca spesifikasi PC resmi yang ia usung saja, maka Anda sudah mengerti bahwa seperti halnya apa yang mereka lakukan di League of Legends, proritas Riot Games adalah memastikan VALORANT untuk bisa dimainkan sebanyak mungkin gamer PC. Oleh karena itu, sisi presentasi visual memang diprioritaskan untuk membuat VALORANT tetap ringan namun tetap menawarkan visualisasi yang setidaknya menarik. Sejauh mata memandang, mereka bisa dibilang melakukan tugas ini dengan baik. Dengan desain dunia dan atmosfer yang mampu menawarkan sekelibat lore yang berimplikasi pada kondisi dunia yang Anda tinggali, pendekatan cita rasa kartun yang kental juga tidak mengurangi pesona VALORANT itu sendiri. Walaupun demikian, bukan berarti ia bisa dibilang sempurna.

Dibandingkan dengan game shooter hero yang lain, terutama Overwatch misalnya, Riot Games sepertinya punya tugas berat untuk menawarkan desain hero yang lebih menarik terutama untuk karakter wanita yang ada. Hampir sebagian besar karakter Agen yang saat ini ia usung terasa begitu generic dan standar, hingga ia tidak terasa istimewa. Anda seperti sudah sempat melihat desain karakter-karakter ini dari beragam media yang lain, dengan hanya sedikit modifikasi untuk membuatnya spesial. Satu-satunya karakter yang desainnya pantas dipuji di mata kami hanyalah Viper, yang terlihat sensual dan mematikan di saat yang sama.

Viper menjadi satu-satunya karakter yang menurut kami, memiliki desain menarik.
Terlalu banyak skill berbentuk kubah!

Kritik lainnya juga pantas diarahkan pada visualisasi sebagian besar skill yang bentuknya terlihat serupa satu sama lain. Salah satunya terjadi dengan skill yang didesain untuk menghalangi pandangan musuh seperti yang dimiliki oleh Brimstone, Jett, Viper, dan Omen yang kesemuanya berbentuk bak kubah yang eksis selama beberapa detik. Yang membuatnya berbeda hanyalah warna saja. Ketika keempat karakter ini berada dalam satu tim misalnya, agak sedikit menggelikan untuk melihat peta tiba-tiba dipenuhi dengan kubah beragam warna di beragam titik dengan ciri-ciri visual yang tidak banyak berbeda satu sama lain. Tidak berpengaruh banyak ke gameplay memang, apalagi beberapa serangan “kubah” ini juga punya efek lain seperti milik Viper misalnya. Hanya saja harus diakui, kurang elok.

Hal yang sama juga butuh dipikirkan untuk membuat desain senjata standar mereka berbeda. Sebagian besar senjata yang bisa digunakan di VALORANT berujung menjadi sebuah senapa dengan laras cukup panjang dengan warna hitam yang dominan. Berita buruknya? Terkadang yang membedakan antara satu senjata dan senjata yang lainnya hanya terletak pada beda panjang ujung moncong saja, yang notabene tidak memberikan cukup clue visual jika Anda misalnya, hendak memungut senjata musuh yang terjatuh saat mereka mati. Apa sebenarnya senjata yang Anda lihat? Apakah pantas ditukar dengan senjata Anda sekarang? VALORANT memang memberikan deskripsi senjata apa yang Anda lihat jika Anda mengarahkan crosshair ke sana, hanya saja, di situasi genting dan penuh kepanikan, aksi seperti ini tidak bisa dibilang efektif. Ada harapan untuk melihat desain setiap senjata, terutama untuk SMG dan Rifle untuk dibuat lebih berbeda dari segi penampilan atau setidaknya, mengusung cue visual yang lebih jelas.

Butuh desain senjata yang lebih unik untuk bisa membedakannya dengan mudah hanya lewat sisi visual saja.
Suara tetap memainkan peran penting.

Sementara dari segi audio, VALORANT menyediakan kualitas yang cukup memuaskan. Suara tidak hanya berperan untuk membangun atmosfer, dari musik kecil kemenangan hingga bunyi senjata saja, tetapi juga menjadi clue yang esensial untuk memenangkan pertempuran – seperti bunyi derap kaki dan juga bunyi pemasangan Spike (bomb) sebagai sumber informasi.

Yang menarik? Ada usaha untuk menyuntikkan sedikit kepribadian para karakter dengan menyuntikkan voice-line dimana mereka akan mengeluarkan komentar tertentu pada saat dipasangkan dengan karakter yang lain. Namun sayangnya, komentar-komentar tersebut masih terbatas pada saat review ini ditulis. Voiceline tersebut biasanya hanya terjadi di awal permainan dan sayangnya, tidak direspon oleh si objek komentar. Interaksi lanjutan juga sayangnya tidak terjadi saat pertempuran, baik apakah ketika satu karakter membunuh karakter lain atau ketika mereka berhasil meledakkan / menjinakkan Spike. Riot Games punya pekerjaan rumah ekstra di sini jika ingin membuat karakter mereka semakin “bersinar”.

Sebagai  sebuah game yang menggabungkan dua konsep game FPS dalam satu ruang seperti ini, VALORANT memang sudah sepantasnya mendorong diri untuk tampil sebagai game FPS yang memiliki kepribadiannya sendiri. Walaupun mereka mengusung sistem gameplay yang lebih dekat ke CS: GO saat ini, semoga saja mereka tidak menyontoh gaya marketing Valve dengannya. Untuk urusan ini, sebaiknya VALORANT berkiblat pada yang berhasil dilakukan Overwatch selama beberapa tahun terakhir ini.

Lirik, Lahap, Bubar

LIRIK, LAHAP, BUBAR, dan SEGERA KESETANAN!

Satu yang menarik dari rilis VALORANT ke pasar global adalah ketertarikan kuat mereka untuk menggaet pasar Indonesia. Tentu saja ia tidak hanya mengakar pada fakta terbukanya pasar kita untuk game kompetitif bergenre FPS saja, tetapi juga karena kebutuhan spesifikasinya yang ringan. Ini berarti gamer dan warnet di beragam belahan indonesia yang mulai harus mengakui bahwa spesifikasi PC yang mereka usung sudah uzur, tetap berkesempatan untuk menjajal dan menikmati game yang didistribusikan dalam format free to play ini. Peluang VALORANT untuk sukses di Indonesia terhitung besar.

Sebagai penanda keseriusan ini, VALORANT langsung dirilis dengan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa pendukung, yang notabene menjadi gestur yang pantas untuk disambut dengan tangan terbuka. Sayangnya, untuk sebuah video game yang didesain dan dirancang untuk menyasar pasar anak muda, dukungan bahasa Indonesia ini berujung menjadi translasi harfiah dengan pakem EYD yang justru membuat segala sesuatunya menjadi sulit untuk dimengerti dan terasa canggung.

Kami menjajal VALORANT dalam bahasa Indonesia sepenuhnya untuk proses review ini dan hingga saat ini, kami masih sulit untuk memahami dan mengerti penjelasan dari skill-skill karakter yang ada dalam bahasa lokal kita ini. Namun setidaknya, Anda bisa menemukan sedikit humor di sana-sini jika melihat absurdnya proses translasi yang ia hasilkan. Sebagai contoh? Skill set milik Reyna yang berakhir menjadi 3 buah skill standar bernama: LIRIK, LAHAP, dan BUBAR yang diikuti dengan sebuah skill Ultimate dengan deskripsi yang memuat kalimat “SEGERA KESETANAN”.

SENGIT!
Riot Games memastikan gamer Indonesia bisa mengeluarkan isi dompet mereka semudah dan semulus mungkin lewat beragam opsi yang ada.

Dukungan ini juga diikuti dengan dukungan beragam metode pembayaran untuk Anda yang tertarik untuk mengeluarkan uang untuk membeli item-item kosmetik yang saat review ini ditulis, sudah memuat sebuah bundle seharga 700 ribu Rupiah. Kemudahan pembayaran, termasuk menggunakan GoPay sekalipu, memungkinkan gamer yang sudah jatuh hati dengan VALORANT untuk mendukungnya secara langsung. Sayangnya, kami tidak punya informasi lebih apakah item-item ini bisa diberikan ke gamer lain ataukah harganya sudah memuat harga yang dikhususkan pada region atau tidak. Satu yang pasti, Riot Games ingin membuat aksi Anda mengeluarkan uang akan bisa dilakukan semudah dan semulus mungkin.

Kesimpulan

Untungnya, dengan format free to play dan kualitas yang ia usung saat ini, sepertinya tidak ada alasan untuk tidak menjajal VALORANT apalagi jika Anda mencintai game FPS kompetitif yang pendekatan gameplay-nya lebih dekat ke CS: GO. Ditambah dengan popularitas Riot Games yang sudah terbukti di League of Legends, sepertinya juga aman untuk memprediksi bahwa ramainya komuitas akan membuat game FPS ini bertahan untuk waktu yang lama. LIRIK, LAHAP, BUBAR!

VALORANT tampil sebagai sebuah kolaborasi konsep yang jelas, sudah dipikirkan dan untungnya, dieksekusi dengan matang. Di atas kertas, menggabungkan konsep sebuah game shooter hero dengan gameplay ala CS: GO memang terdengar seperti sebuah kontradiksi yang notabene mustahil untuk bisa menghasilkan game kompetitif yang seru dan berimbang. Namun Riot Games memperlihatkan tajinya di sini, menghasilkan sensasi game FPS yang cukup berbeda dan unik, sembari memastikan pengalaman multiplayer yang ia usung memang seru, menegangkan, dan menyenangkan di saat yang sama. Semuanya menyempurna lewat sistem microtransactions yang saat ini masih sebatas item-item kosmetik yang tidak mempengaruhi performa sama sekali, tuntutan performa yang ringan, dan format distribusi free to play yang menggoda.

Walaupun demikian, VALORANT pada saat review ini ditulis, memang bukanlah game kompetitif yang sempurna. Selain sistem anti-cheat miliknya – Vanguard yang terasa dan terlihat menyeramkan karena kebutuhan untuk terus bercokol di sistem Anda walaupun VALORANT-nya sendiri tidak aktif, game ini juga butuh sistem yang lebih baik untuk menghukum gamer yang AFK dan mencari solusi untuk sesegara mungkin mengganti posisi kosong tersebut dengan player lain daripada sekadar memberikan uang ekstra atas nama “balancing”. Dengan tidak adanya kill-cam atau kesempatan untuk mengobservasi perilaku player musuh, saat ini juga sulit untuk mengetahui dan mengawasi apakah ada player yang menggunakan cheat sesungguhnya atau mereka memang punya skill di atas rata-rata.

Untungnya, dengan format free to play dan kualitas yang ia usung saat ini, sepertinya tidak ada alasan untuk tidak menjajal VALORANT apalagi jika Anda mencintai game FPS kompetitif yang pendekatan gameplay-nya lebih dekat ke CS: GO. Ditambah dengan popularitas Riot Games yang sudah terbukti di League of Legends, sepertinya juga aman untuk memprediksi bahwa ramainya komuitas akan membuat game FPS ini bertahan untuk waktu yang lama. LIRIK, LAHAP, BUBAR!

Kelebihan

 

Desain peta dengan banyak alternatif jalan membuka lebih banyak potensi strategi.
  • Gameplay taktis, seru, dan menegangkan
  • Kolaborasi konsep yang menghasilkan sensasi unik dan berbeda
  • Microtransactions hanya berkutat pada item kosmetik
  • Translasi bahasa Indonesia bisa dijadikan sumber humor & didukung kemudahan metode pembayaran
  • Skill tiap karakter cukup unik untuk digunakan dan dieksekusi
  • Desain peta dengan banyak jalan alternatif

Kekurangan

Mengapa begitu banyak kubah??!
  • Butuh visualisasi unik untuk beberapa skill dan senjata
  • Anti-Cheat Vanguard terasa menyeramkan
  • Desain karakter kurang menggoda
  • Minim fungsi observasi untuk memeriksa legit-nya kemampuan player lain
  • Bahasa Indonesia diterjemahkan terlalu baku

Cocok untuk gamer: yang menginginkan game FPS kompetitif baru, membutuhkan game Free to Play berkualitas

Tidak cocok untuk gamer: yang tidak menyukai mekanik FPS ala CS: GO, menginginkan desain karakter di level “waifu-able”.

References : https://jagatplay.com/2020/06/pc-2/review-valorant-kolaborasi-konsep-matang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar